Kamis, 22 November 2012

CERPENKU


EMPAT PULUH MENIT BERSAMANYA
Empat puluh menit bersamanya adalah suatu hal hebat yang tak pernah kuabaikan. Aku selalu terkagum mengingatnya ... hal yang luar biasa. Meski waktu di waktu singkat itu aku hanya bisa diam kaku karena duduk disampingnya. Setelah itu, aku tak pernah lagi berbicara padanya. Ya, Dia. Dia yang murah senyum. Dia yang membuatku terpesona. Laki-laki tinggi, berkulit sawo matang, manis, dan berwibawa. Namanya Ahmed. Dia membuatku lupa dengan seseorang bernama Zainal.
Zainal berada sangat jauh dari tempatku berada adalah orang yang dua tahun lalu mulai aku cintai. Namun kami berpisah saat tiba-tiba Zainal pindah dari Jogjakarta ke Bandung. Dia hanya menyatakan perasaan dan tidak mengatakan tentang status hubungan kami. Dia menggantungkan hubungan. Sejak itu dia menghilang. Sampai saat ini. Sudah dua tahun dia menghilang, bodohnya aku, aku masih mencintainya. Kemunculan Ahmed pada empat puluh menit di dua hari yang lalu, saat wisuda kelulusan di kampus,membuatku sedikit melupakan Zainal.
Aku mulai mengagumi Ahmed, dan terus mengagumi. Sampai Dua bulan berjalan, aku menulis sepucuk surat cinta untuk Ahmed. Dan jawabannya adalah, “Aku sudah mau menikah, dengan seseorang”.
Ketika aku mulai menangis di pantai senja yang sepi,seseorang menepuk pundakku. Ketika aku menoleh dengan air mata yang deras, aku melihat dia. Dia yang selama dua tahun ini jauh dariku, dan menggantung hubungan. Dia berkata, “Apa yang kau tangisi? Mencoba melupakanku tapi malah orang yang menjadi pelampiasanmu tak bisa menerimamu? Pastinya kau tahu, kau tak mungkin bersama orang lain selain aku. Aku hanya pergi sebentar saja untuk membatmu merindukanku. Dan akhirnya aku ingin kembali pada saat kau siap menjadi milikku”.
Aku melongo.

Jumat, 06 Januari 2012

Setia Bersama Sejati


24 November 2004    
Ya Allah, Uum  hari ini sungguh mengharapkan maafMu dari dosa-dosaku...
Ya Allah, mengapa Kau biarkan aku mengetahui bagaimana sakitnya hatiku menjadi sekeras batu?
Dan Engkau juga memberitahuku bagaimana laknatMu menimpa keras hati ini...
Aku sudah takut ini terjadi, kenapa Kau kehendaki ini terjadi?
Sebentar saja, kasihani aku...
Namun, ketika aku berdoa agar Kau kasihani hati ini, aku sadar...
Aku bukanlah orang yang pantas dikasihani...
Ya Tuhan semesta alam,
Jikalau Engkau tak lagi memberiku kesempatan untuk dikasihani olehMu...
Aku mohon, jangan Kau pisahkan aku dari seseorang yang mengasihiku...

 Naimatul Ummah,
Asrama Tunas Kelapa,
Yogyakarta.

@@@

            “Uum, mau kemana kamu?”
            “Pulang ke asrama!”
            “Uum, sekolah belum bel pulang!”
            Uum tidak mendengarnya. Ia sudah berlari terlalu jauh dari Rini. Rini menggeleng-gelengkan kepala. Uum agak aneh hari ini, sungguh aneh. Semua anak menyadari itu.
            Bel berbunyi. Tak lama setelahnya, Pak Ardi masuk kelas delapan. Semua murid sudah duduk ditempatnya masing-masing. Hanya satu anak yang tidak ada di tempatnya.
            “Uum mana?”, tanya Pak Ardi.
            “Entah, nggak ada yang tahu, Pak!”
            “Nggak biasanya”

@@@

            Asrama masih sepi. Belum ada yang pulang dari sekolah. Kecuali dia. Dia hanya menatap wajahnya di kaca. Tidak terlalu jelas, kamarnya gelap. Tidak ada cahaya masuk. Dibukanya jendela kamarnya. Cahaya matahari masuk melalui celah-celah kecil jendela yang belum terbuka sepenuhnya. Dengan dorongan yang sedikit kuat, dibukanya jendela itu hingga cahaya matahari menerangi kamarnya.
            Terlihat dari tempatnya berdiri, tebing batas asrama. Diatasnya ada seseorang. Ia keluar dari kamarnya untuk melihat ada apa diatas sana.
            “UUM!!!”
            Itu kekasihnya, Ditya. Ditya melambai kearahnya. Memang wajah Ditya tak begitu jelas. Tapi, dari suara dan panggilannya pada Uum, sudah jelas itu Ditya.
            “Dit, ngapain disitu?”
            “Um, ayo ikut!”
            “Kemana?”
            “Ke Emblem”.
            “Warung baru itu?”
            “Iya.”
            “Oke...”
            Ditya turun dari tebing tempat ia bertengger, dan mendarat di depan Uum. Ditya tersenyum padanya dan mengulurkan tangan, berharap wanita di depannya menerima ulurannya. Sedangkan Uum masih agak galau dengan perasaannya tadi malam. Saat ia merasa bahwa Tuhan tak lagi sayang padanya. Dan orang di depannya inilah seseorang yang mengasihi dan sayang padanya.
            Uum tersenyum, membuang kegalauan itu dan menangkap sinyal Ditya. Diterimanya uluran tangan itu.
            “Kita harus cepat pergi. Jika Madame tahu aku di asrama cewek, abis beneran nih nyawa”.
            Ditya membawa Uum berlari keluar asramanya. Mereka harus melalui kantor asrama sebelum ke gerbang. Madame sedang minum kopi. Ditya dan Uum bersembunyi. Saat Madame meletakkan cangkirnya, segera Ditya dan Uum berlari lagi. Karena Madame menutupi wajahnya dengan koran.
            Mereka terus berlari sampai pada sebuah jalan setapak kecil, yang sangat sepi. Uum berhenti berlari. Begitupun Ditya. Ditya menoleh menatap Uum. Pepohonan disekitar mereka berisik terkena angin.
            “Kenapa berhenti?”
            “Aku mau bi...”
            “Sudahlah, nanti saja. Ayo cepat! Aku sudah lapar”.
            Ditya berancang-ancang.
            “Ditya!”
            Ditya menoleh.
            “Apa lagi U...”
            Uum memeluk Ditya. Ditya bingung.
            “Dit, please..., aku harus bicara”.
            Suara Uum mulai bergetar.
            “Katakanlah”.
            “Kamu adalah orang yang aku kasihi. Aku juga orang yang kamu kasihi ‘kan?”
            Ditya bingung. Tapi ia memilih jawaban ya untuk wanita dalam pelukannya. Dadanya terasa basah, ia yakin Uum menangis.
            “Uum kamu kenapa?”
            “Mungkin, kamu satu-satunya...”
            Suara Uum nyaris seperti gumaman. Namun Ditya mengerti apa yang diucapkannya. Hanya saja Ditya masih merasa aneh. Ia mengulangi pertanyaannya, lagi dan lagi. Jawaban wanita itu masih sama.
            “Mungkin, kamu satu-satunya...”
@@@

            “Dit, kamu kenapa?”
            Ditya sendiri tak mengerti mengapa pikirannya rancau. Kenapa Alge bertanya padanya? Tentu ia tak kan menjawab. Hanya terpaku pada panorama senja di pantai itu. Air laut mendayung aroma sejuk. Desiran ombak mententramkan hatinya. Nyiur melambai di belakangnya.
            “Dit, kamu yang ajak aku kesini. Kamu bilang mau ceriatin semua. Tapi sekarang kamu cuma diem”.
            Ditya masih bungkam.
            “Dit, kamu udah diemin aku dua jam. Mau berapa jam lagi?”
            Ditya terus diam. Burung-burung beterbangan, bercuap-cuap memecah keheningan diantara mereka. Alge ikut duduk di sebelah Ditya. Separuh kaki Ditya sudah basah oleh air pantai. Ombak membasahi kaki mereka. Mentari sedikit demi sedikit tenggelam dalam duyunan gelombang laut.
            Alge menatap jam tangannya. Sudah lama Ditya bungkam. Alge juga ingin tahu apa yang membuat sahabatnya galau. Ditya membaringkan tubuhnya diatas pasir putih.
            “Ge, aku bingung, bingung banget...”
            “Kenapa? Uum kah?”.
            Ditya mengangguk. Benar apa tebakan Alge.
            “Dia nangis... dalam pelukanku”.
            Alge menatap Ditya.
            “Kamu peluk dia?”
            Ditya menggeleng.
            “Uum yang peluk. Dia omong hal yang aneh banget Ge.”
            “Seaneh apapun  omongan dia, aku rasa nggak perlu sampai peluk kamu”.
            “Ge”.
            “Hum?”
            “Aku tahu kita alumni pesantren. Tapi please, ini dunia luar. Sadar kalo hal itu udah biasa di kalangan seumuran kita”.
            “Aku rasa, alumni pesantren atau bukan, hidup di luar atau enggak,sama aja. Dosa tetep dosa. Semenjak kita pindah ke asrama ini, kamu jadi berubah! Mana cita-cita kamu yang dulu?”.
            “Oke, kamu emang bener. Tapi, aku bener-bener nggak bisa nahan semua nafsu ini”.
            Alge berdiri, menatap Ditya dan berjalan menjauhi Ditya. Baru berapa langkah, Alge menoleh.
            “Dunia kamu nafsu aja! Dasar SETAN!”.
            Alge meneruskan jalannya. Ditya memandang kepergian Alge yang berjalan sambil mengais-ngais pasir.
@@@

            Andin merasa ada yang salah dengan sahabatnya. Uum, yang sudah menjadi sahabatnya dari awal ketika mereka masuk ke pesantren yang sama. Bahkan sampai sekarang, saat mereka menduduki bangku SMA dan tinggal di asrama Tunas Kelapa.
            Hari ini Uum lebih suka mengacuhkan teman-temannya dan memilih pergi dari teman-temannya. Uum jarang di asrama. Apa dia punya masalah? Tapi, dari esok, wajahnya tak murung. Hanya sedikit aneh saja tingkahnya.
            Andin menopang dagunya diatas meja belajar. Ia menatap jam beker di depannya. Sudah sangat malam.
            “Andin, kamu nggak tidur?”
            Andin menoleh. Sazkia. Andin mengangguk.
            “Besok hari Minggu, aku harus ke gereja pagi-pagi. Kamu sering sholat malam hari ‘kan? Bisa bangunkan aku sekitar jam empat?”.
            “Baiklah. Jam berapa kau ke gereja?”
            “Jam enam mungkin.”
            “Pagi sekali bangun jam empat?”.
            Sazkia tersenyum. Ya, Andin paham. Rambut Sazkia keriting dan panjang. Butuh waktu lama untuk menata rambutnya. Andin tak begitu suka mengurus rambut- dia berkerudung.
            “Oh ya, sebaiknya kau urus sahabatmu sebelum tidur. Ia sedang tak enak hati”, ujar Sazkia.
            Sazkia menguap, pergi ke ranjang dan tidur. Andin mendekati ranjang Uum. Uum sedikit bergerak. Namun wajahnya terbenam dalam bantal. Nafasnya lebih lambat. Sazkia tahu, itu sandiwara. Uum belum tidur.
            “Um, aku tahu kamu belum tidur”.
            Uum menghela nafas. Sandiwaranya hancur, ia tak berhasil. Dimunculkannya wajah murung itu pada Andin.
            “Aku berusaha untuk tidur”.
            “Tapi kau tak bisa”.
            Uum mengangkat alisnya. Andin benar.
            “Katakan padaku, tentang hatimu”.
            Uum ragu. Ia harus bercerita pada Andin atau tidak. Ia putuskan untuk bercerita. Semoga saja, ini tindakan benar.
            “Din, aku merasa, semua yang aku takutkan akan terjadi”.
            “Maksud kamu?”
            Uum menghela nafas, “Semenjak aku tahu jika hati seseorang bisa menjadi keras, aku takut itu terjadi padaku. Dan itu benar-benar terjadi. Aku takut bila aku dan dia berpisah, kemarin malam aku bermimpi, dia pergi”.
            “Nggak Uum, hatimu nggak keras, dan itu cuma mimpi”.
            Uum diam. Ia ingin menangis karena semua ini. Ia tak ingin hatinya berubah mengeras. Ia ingin hatinya melunak. Ia belajar di pesantrennya dulu, orang yang keras hatinya, maka Allah tidak lagi sayang padanya. Jika Allah tidak lagi sayang, ia pastilah mustahil masuk surga.
            “Andin, aku hanya takut, jika hatiku keras dan Allah tak lagi sayang padaku, Ia akan mengambil Ditya dariku. Bahkan Allah nggak ridlo aku dan dia bersatu di surga”.
            “Sudahlah Um, itu semua hanya mimpi”.
            Uum mengangguk. Ia berbalik badan dan memejamkan matanya, ia harus tidur. Badannya serasa tidak enak.
@@@
           


















1 Desember 2004
Ya Allah, aku khilaf...
Hapuskanlah dosaku Ya Allah...
Apa yang harus kulakukan?
Haruskah aku mencampakkan cinta untuk sahabat,
Ataukah membuang sahabat untuk cinta?
Ya Allah, tunjukkan jalanMu untukku...
Aditya Kurniawan,
Asrama Tunas Kelapa,
Yogyakarta.
@@@
            “Nggak ada yang berani lawan aku”.
            Ditya membanggakan dirinya sambil naik ke atas kursi. Teman-temannya tertawa. Ini lelucon bagus, kecuali untuk Alge. Alge menatap sahabatnya agak malas.
            “Pemberani kok berani juga sama Allah, suka nglakuin dosa”.
            Karena komentar Alge baru saja, semua anak diam memandang Alge. Tidak biasanya Alge berkata pedas pada sahabatnya. Ditya menunduk, turun dari kursi, dan mendekati Alge.
            “Kamu kenapa sih, Ge? Kamu marah? Oke. Tapi, please, kamu jangan bawa kemarahan kamu disini”.
            Alge menatap Ditya tepat pada matanya. Ia sungguh marah.
            “Kita dulu udah janji, nggak akan perenah nglanggar ajaran islam setelah jadi alumni. Kamu berubah. Kamu udah  berani tinggalin sholat Dit, kamu udah berani pegang cewek, kamu udah berani kurang ajar ke guru! Kamu cuma omong kosong!”
            “Alge, jaga mulut kamu, aku bukan bajingan seperti itu, semua ada alasannya!”.
            Alge berdiri. Ia lebih bisa menatap Ditya tajam.
            “Apa alasannya? Nafsu? Kamu sendiri yang dulu pernah bilang, Nafsu itu harus dijaga! Kamu emang bajingan Dit!”.
            Alge meninggalkan Ditya. Ia pergi keluar dari kamar mereka. Teman-temannya kembali cair.
            “Dit, kamu nggak apa-apa kan?”
            “Aku? Oh, nggak papa”.
            “Dit, aku mau tanya”.
            “Tanya aja”.
            Ditya masih menjawabi pertanyaan teman-temannya. Tapi, matanya tertuju pada pintu dimana Alge pergi.
            “Dit, kamu berani nggak sama cewek itu?”.
            Temannya menunjuk lukisan Madame di kamar mereka.      
            “Hah? Dia? Berani dong...”
            Pintu dibuka lagi, kali ini dengan keras. Madame membentak, “Cepat tiduuuurr!”. Semua anak jempalitan ke tempat tidurnya. Hanya Ditya yang masih terpaku.
            “Ngapain masih disini?”
            “Hehe, Madame”.
@@@
            Esok harinya, kelas sebelas harus mengikuti praktik keterampilan tangan. Bertepatan dengan praktik IPA anak kelas sepuluh. Ditya menyiapkan bahan untuk kelompok praktiknya. Ia akan membuat patung yang indah dari tanah liat. Semua sudah siap, hanya satu yang kurang. Alge keluar dari kelompoknya. Dia tak tahu harus bagaimana.
            “Dit, udah selesai? Siap semua tuh barang?”, tanya Michael.
            “Udah, tinggal satu yang kurang”.
            Michael tahu apa yang kurang. Sahabat Ditya keluar dari kelompok mereka. Dari kemarin, setelah Alge mengundurkan diri, sama sekali tidak ada yang tahu dimana dia. Menghilang begitu saja.
            “Alge”, bisik Michael.
            Ditya hanya mengangguk.
            “Sudah tanyakan pada Madame?”.
            “Sudah”.
            “Bagaimana tanggapannya?”
            “Aku diacuhkan. Hanya dijawab dengan gelengan kepala”.
            Michel menepuk pundak Ditya pelan. Ia berharap Ditya sabar menghadapi kepergian sahabatnya. Ditya hanya tersenyum kecil.
            “Janggal”, komentar Michael.
            “Sangat janggal. Aku tidak bisa tersenyum. Terlalu sedih”.
            “Alge sempat berkata padaku, kamu sudah berubah. Mungkin Alge benci kamu berubah hanya gara-gara dia”.
            Dia? Uum kah?
            “Lho, sudah lama aku mencintai dia. Kenapa Alge baru berkomentar saat ini?”
            “Tanya saja sendiri pada Alge. Sudah ya, aku duluan. Kutunggu di depan gerbang”.
            Sekarang, siapa yang harus dipilih Ditya? Uum, atau Alge? Keduanya sangat berarti dalam hidupnya. Ditatapnya langit biru dengan sendu. Ia sekarang berada dimana pertama kali ia tahu Uum bersekolah di SMA Tunas Kelapa seperti dia. Ia mulai menyibakkan dedaunan liar yang menutupi sebuah batang pohon. Memorinya berputar perlahan.
            “Dit, ngapain kamu duduk aja? Tendang tuh bola ke aku”.
            Ditya berdiri, ia tersenyum dan menendang bola itu ke Alge. Alge tertawa.
            “Kamu kangen Uum kah? Udahlah Dit, Uum jauh. Dia mungkin masih di pesantren”.
            “Baru saja aku dikabarin Lia. Kalo Andin dan Uum mau lanjutin ke SMA luar, nggak di pesantren lagi. Tapi, kemana Ge?”
            Alge memainkan bola di kakinya.
            “Andin mau pindah juga?”
            “Iya. Kamu suka Andin kan? Jangan bohong deh...”
            “Suka sih suka. Tapi nggak seluar biasa cinta kamu ke Uum”.
            “Kamu nih”.
            Ditya memandangi Alge memainkan bolanya. Ia membuka tasnya, dan mengeluarkan pisau kecil. Dirampasnya bola yang dimainkan Alge. Ia menusuk bola itu dengan pisau.
            “Bego kamu! Tajem tuh pisau!”.
            “Baguslah kalo tajem. Liat nih...”
            Ditya menghujamkan pisau itu ke pohon didekatnya. Alge ikut mendekat, melihat apa yang dilakukan Ditya. Ditya mulai mengukir. Diukirnya namanya pelan, digambarnya lambang cinta, dan ditulis nama Uum disebelah lambang cinta itu. Disampingnya, ia menulis nama Alge. Baru selesai menulis huruf terakhir, ada seseorang dibelakang keduanya.
            “Ditya love Uum. Gombal!”, ujar Uum.
            Ditya dan Alge menoleh. Uum tertawa kecil. Kerudung pink-nya berkibar terkena angin sepoi.
            “Uum?!”
            “Hehe. Daritadi aku ngamatin kalian tahu! Kebetulan aku lagi sembunyi dibalik pohon, eh lihat kalian.Aku nggak tahu kalian lanjutin SMA disini”.
            “Sembunyi? Emang kenapa?”, tanya Ditya.
            Belum sempat Uum menjawab, Andin muncul dari balik pohon.
            “Hya! Uum ketemu...”
            Ditya dan Alge melongo.
            “Andin, aku nemuin dua spesies langka”, ujar Uum.
            “Haaay”, sapa Ditya dan Alge bersamaan.
            “Kalian?”
            “Iya, kami”.
            Mereka tertawa bersamaan.

            Ditya tersenyum geli mengingatnya. Dibukalah ranselnya, diambilnya sebilah pisau kecil. Ia menulis lambang cinta di samping nama Alge, dan menulis nama Andin disebelah lambang cinta. Ia melanjutkan jalannya ke sekolah.
            Di gerbang, ia menemukan Michael sedang menunggunya.
            “Lama amat, Dit”.
            Ditya nyengir kuda. Memang dia lama sekali. Ia harus mengukir sesuatu di pohon. Michael mengajaknya masuk kelas. Mereka sudah tertinggal. Yang lain sudah di ruang praktikum keterampilan. Ditya dan Michael menyusul. Sayangnya, Ditya dihalangi Fizah dan Mai.
            “Fizah, minggir deh”, kata Michael.
            “Nggak mau! Sebelum Kak Ditya nglakuin satu hal”.
            “Kamu kenapa sih, Fiz?”, tanya Ditya.
            “Uum sakit. Dia sekarang dirawat di rumah sakit”.
            ‘Ya Tuhan, kenapa Kau hadapkan aku dengan pilihan seberat ini, aku harus katakan bila aku tak peduli lagi pada Uum, agar aku bisa rukun dengan Alge. Barulah setelahnya, aku akan kembali pada Uum’. Pikir Ditya.
“Emang penting? Udahlah Michael, kita langsung aja”.
            “Yo’i!”.
Ditya dan Michael menabrak mereka untuk ke ruang praktik. Uum, sakit! Alge pergi. Apa yang harus ia lakukan?
@@@

            “Madame, ayolah saya mohon, beritahu saya, anda pasti tahu dimana Alge”.
            Seharian ini, Madame dibuntuti oleh Ditya. Ditya berusaha membuka mulut Madame. Ia yakin Madame tahu kemana Alge pergi. Hanya saja, Madame pasti sudah dipesani Alge agar tidak mengatakannya pada siapapun.
            “Madame, jawab pertanyaan saya. Kemana Alge pergi?’.
            “Aku tak tahu. Tanyakan saja pada teman-temanmu”.
            Madame sudah mulai kesal dibuntuti. Ia mendengus marah. Ditya masih saja menanyakan keberadaan Alge. Madame membanting koran yang dibawanya.
            “Sudah kubilang, aku tak tahu. Aku tak suka dituduh! Ces’t qui? Berani-beraninya menuduhku”.
            Madame meninggalkan Ditya di teras rumahnya. Ia masuk rumah dan membanting pintu di depan hidung Ditya. Ditya tidak putus asa, dia tak akan menyerah menanyakan dimana Alge.
            Malam merajalela, hanya saja bukan bintang yang terhampar. Langit mendung malam itu. Pekat sekali, sepekat perasaan Ditya malam ini. Madame mengintip Ditya dari jendela. Anak bandel itu masih saja disana. Ternyata, tanpa sahabatnya, anak itu tak bisa membuat onar seperti kemarin-kemarin.
            Malam sekali, hujan mulai membasahi teras rumah Madame. Madame membuka pintunya, menyuruh Ditya pergi dari terasnya. Ia berharap, Ditya akan menyerah dan pergi dari depan rumahnya. Sayangnya, bocah itu tak seperti yang diharapkan Madame. Bocah itu tetap disana. Madame tak tega lagi. Segalak apapun ia, ia juga wanita yang punya rasa peka. Dibukanya jendela.
            “Nak, kemarilah!”
            Ditya menghampiri Madame dengan pakaiannya yang basah kuyup.
            “Kuberi tahu kau, dimana Alge berada”.
            “Madame, anda...”
            “Sudahlah, dengarkan! Alge sedang pergi. Ia ke Jakarta untuk mengikuti sebuah seminar karya ilmiah”    .
            Ditya tersenyum, ia tak tahu apa yang harus ia katakan.
@@@








            6 Desember 2004
Apalah yang harus aku lakukan?
Tubuh ini sudah tak berdaya lagi untuk melakukan sesuatu untukmu.
Mungkin, aku harus berhenti sampai disini.
Aku sama sekali tak mengerti mengapa tiba-tiba cinta itu tak lagi kau sirami?
Aku kecewa, sangat kecewa...
Harusnya kau berterus terang dari awal jikalau dirimu tak lagi mencintaiku
Naimatul Ummah,
Rumah Sakit Sehat Sentosa,
Yogyakarta
@@@
            “Uum, sudah baikan?”, tanya bunda.
            Uum membuka matanya. Ia melihat bunda. Dianggukkan kepalanya.
            “Ada Andin, sayang, dia mau menengok kamu”.
            Uum tersenyum. Ia melihat Andin dibelakang bunda. Andin mendekati Uum. Dielusnya rambut Uum.
            “Sudah benar baikan?”
            “Iya, Andin”.
            Suara Uum sangat lirih.
            “Kapan kembali ke asrama? Kamu sudah empat hari disini. Apa nggak kangen asrama?”.
            “Sangat”.
            Bunda menawari Andin cokelat hangat. Andin menolak. Bunda memang sengaja menawarkan cokelat. Bunda tak suka cokelat. Uum yang suka. Hanya Uum tidak pernah mau meminumnya akhir-akhir ini. Ayah pun jarang mampir ke rumah sakit setelah pulang dari kerja.
            “Andin sendirian?”, tanya bunda.
            “Nggak bunda, sama Ni’am.”
            “Adik kamu, ya? Kenapa nggak diajak masuk?”
            “Ni’am nggak suka liat Kak Uum sakit katanya. Makanya Um, biar cepet sembuh. Biar bisa ketemu adikku yang imut”.
            “Imut apanya? Liat nih, udah gede segini imut!”, ujar Ni’am.
            Tiada yang sadar Ni’am sudah sedari tadi masuk. Ni’am bersalaman dengan bunda. Bunda dan Ni’am mengobrol. Bunda mengajak Ni’am mengobrol di luar.
            “Din, Ditya bagaimana kabar?”
            “Sudahlah, buang saja Ditya”.
            Andin menceritakan pertemuan Fizah dan Ditya. Uum tak percaya Ditya berkata seperti itu. Rasanya mencekat hati. Tak mungkin Ditya seperti itu. Tapi, tak mungkin juga Andin berbohong. Sungguh Uum benar kecewa pada Ditya. Setelah sekian lama Ditya berjanji, dan berjanji. Ternyata semua palsu.
            Uum menoleh ke sekitarnya. Tidak ada siapapun. Ia memanggil Ditya. Ditya menoleh, tahu yang memanggilnya adalah Uum, ia memeriksa keadaan sekitar. Dihampiriinya Uum.
            “Gila kamu panggil aku disini”.
            “Sshh... Nggak gila. Aku udah periksa keadaan kok. Nggak ada pengurus satu pun”.
            “Iya deh, terserah kamu. Emang ada apa?”.
            “Kamu lupa?”
            “Apa?”
            “Besok kamu keluar dari pesantren ini!”
            “Oh iya!”
            “Lalu?”
            “Lalu apa?”
            Ditya pura-pura tak mengerti. Ia memang harus berpisah dengan Uum besok. Ia dan Alge akan melanjutkan ke SMA di luar. Ia berjanji memberikan perpisahan ,manis untuk Uum. Ditya hanya tak ingin gadis di depannya terngiang dengan rasa sakit berpisah. Perlahan tapi pasti, Ditya melihat mata gadisnya berkaca-kaca.
            “Masa nggak keinget?”
            “Lho, kok malah nangis?”
            “Abis kamu nggak inget sama janji sendiri!”
            Uum berbalik dan mulai berjalan meninggalkan Ditya. Namun jalannya dihalangi oleh Ditya. Air matanya jatuh amat deras. Orang yang disayanginya sama sekali tak ingat janjinya. Janji yang harusnya ditepati dan memberikan sebuah perpisahan termanis sepanjang hidupnya.
            “Um, please stop!”
            “Nggak ada gunanya aku lama-lama disini. Keburu ketahuan pengurus juga!”
            “Um, please... kamu nggak bisa pergi gitu aja!”
            Ditya merentangkan tangannya. Uum berbalik membelakangi Ditya.
            “Aku benci kamu”, bisik Uum parau.
            “Tapi aku sayang kamu Um, cuma kamu satu-satunya orang yang bisa buat aku kaya gini”.
            “Bohong! Kalo emang gitu, kenapa kamu bisa lupa janji kamu? Itu berarti kamu nggak sayang lagi”.
            Uum semakin terisak. Ditya bingung. Apalah yang dirasakan gadis ini? Apalah yang membuat gadis ini sakit hati, ia belum bisa menebaknya. Ia belum tahu apapun. Ia ingin sekali, merangkul gadis ini. Ia ingin sekali, menghapus air mata itu.
            “Um, tolong lihat aku”.
            “Aku benci kamu!”
            “Sekali saja, aku bakal kasih kamu perpisahan yang paling manis. Aku inget Um, aku inget janji aku! Aku nggak pernah lupa”.
            Uum membalikkan badannya. Ia menghapus air mata di pipinya. Dipandangnya Ditya, Ditya tersenyum padanya. Ditya berdeham, lalu menyanyikan sebuah lagu yang terindah yang pernah Uum dengar. Demi Allah! Uum belum tahu suara Ditya sebagus ini. Belum pernah ia mendengar Ditya menyanyi. Sama sekali belum pernah. Uum mencengkram buku yang ia dekap di dadanya.
            Ia mendengarkan lagu itu. Tak panjang, hanya saja cukup membuat Uum tersenyum dan menitikkan air matanya lagi. Kali ini air matanya adalah air mata haru yang benar tulus dari hatinya. Lagu itu mengatakan, sebuah rasa cinta dari surga. Rasa cinta yang benar-benar luar biasa, dan suci. Sebuah rasa cinta yang membuat hati terpaku. Cinta yang berjanji setia tak akan berpaling. Tak akan pernah berpaling, tak akan pernah.
            “Dengar? Aku nggak lupa Um, aku siapin lagu itu berminggu-minggu lalu cuma buat kamu. Itu lagu rancangan Alge. Dia buatin lagu itu khusus buat kamu, dan aku nyanyiin ini juga khusus buat kamu. Bidadariku,” kata Ditya dengan senyum simpulnya dan disusul sebuah buku bersampul merah jambu.
            Uum menerima buku yang diulurkan Ditya. Buku itu tak terlalu besar, bahkan cukup di saku.
            “ALGE!!! DITYA DIMANA???”
            Suara seseorang terdengar dari lantai dibawah mereka.
            “Duh, Um! Maaf, udah dicariin. Aku duluan, ya? Kamu nggak mau aku kena hukuman lagi kan?”
            Ditya berlari meninggalkan Uum sambil melambaikan tangannya. Terdengar suara itu memanggil Ditya lagi. Ditya mengiyakan. Menoleh, tersenyum pada Uum, melambai sekali lagi, dan menuruni tangga dengan cepat.
            Uum membuka buku itu. Awal buku itu, sangat sederhana. Hanya sebuah kata-kata manis.
            Buat Naimatul Ummah terciiinnttaa,
            Uum, aku masih nungguin kamu, aku mohon kamu percaya aku
            Mungkin, kamu yang pertama dan terakhir buat aku
            Jangan lupain aku...
Aditya K.
29 Oktober 2002
            Uum mendekap buku itu. Ia berlari kembali ke komplek putri pesantrennya.

            Apa dulu, Ditya benar-benar lupa janjinya? Apa memang sekarang Ditya sudah tak setia? Kepala Uum dipenuhi dengan pertanyaan yang berjuta jumlahnya. Ditya harus menjelaskan semua ini. Uum sungguh membencinya sekarang.
@@@
            “Bunda, kapan Uum bisa kembali ke asrama?”
            “Nanti sore”.
            Uum sudah jemu di rumah sakit. Ia semakin rindu pada asrama karena kedatangan Andin kemarin. Ia sudah merasa baik, sangat baik. Yang tak baik hanyalah hubungannya dengan Ditya. Ia yakin, Andin hanya bercanda agar ia cepat kembali ke asrama dan menanyakan pada Ditya.
            Sorenya, Uum benar sudah bisa kembali ke asrama. Hanya saja dianjurkan untuk istirahat lagi di asrama. Madame langsung memeluk Uum saat tahu Uum sudah kembali. Uum anak yang baik, favorit Madame. Tidak seperti Ditya, anak yang paling dibenci Madame.
            Uum disambut heboh oleh teman-temannya. Banyak yang mengatakan tentang Ditya pada Uum. Ia sudah tahu! Sudah cukup mereka mengatakannya, hatinya sudah sakit. Ditya hanya berjanji saja. Tak pernah ditepati. Sama sekali tak pernah.
            Baru dua hari Uum di asrama. Ia sudah membisu. Hanya menggeleng ketika ditanya kenapa. Dan tersenyum ketika diajak bercanda. Tak seperti Uum yang dulu. Yang kocak, yang baik, yang tak pernah diam menghibur. Sekarang, dialah yang perlu dihibur.
            Uum duduk di meja belajarnya. Dibukanya buku kecil pemberian Ditya dulu. Itu hanya beberapa kata manis dan beberapa foto. Andin datang dan merebut buku itu.
            “Um please deh! Jangan inget dia lagi! Dia udah lupain kamu! Katanya kamu udah benci dia?!”
            “Andin...”
            “Udahlah Um, toh kalo dia masih inget kamu, seenggaknya dia nampakin mukanya! Mana ada dia muncul akhir-akhir ini?!”
            Uum menunduk. Andin benar. Jika Ditya masih sayang, pasti ia sudah muncul. Ditya, mungkin ia lah yang ada dihati Uum sekarang. Tapi, bukan sebagai orang yang disayang dan diharapkan. Melainkan lelaki yang amat dibenci Uum.
            “Mending kamu tidur aja, Um. Kamu kurang tidur”.
            “Belum ngantuk, Din”.
            “Tapi ini udah malem banget!”
            Uum menatap Andin.
            “Kenapa, Um?”
            “Andin, kamu bohong nggak sih, kalo Ditya bilang aku udah nggak penting lagi?”
            “Ya Allah Uum, beneran!”
            “Aku masih bimbang, antara rasa benci dan bersalah”.
            Uum menyilangkan jari-jarinya diatas meja belajar. Ia melihat lampu belajar di mejanya.
            “Kenapa, Um?”
            “Satu pihak, aku benci karena udah dikhianatin, dibuang gitu aja, tanpa sebab. Padahal dia janji bakal setia. Satu pihak, aku merasa, dia kaya gitu karena aku punya salah, dan aku harusnya minta maaf”.
            “Emang kamu ngerasa pernah punya salah apa?”
            “Nggak tahu, Din”.
            “Tuh kan, nggak tahu. Berarti kamu nggak punya salah, dia aja yang tiba-tiba nggak jelas!”
            Andin benar, lagi-lagi benar. Ditya pasti sudah punya perempuan lain. Atau dia sudah tak sayang lagi dengan Uum.
@@@





19 Desember 2004
Kenapa aku yang harus dibenci?
Apa aku salah jika memilih sahabat?
Sahabat, akan menemani sejauh hidup dan mati
Dan cinta,
Jika sejati maka dia akan selalu bersatu
Walau harus bersatu setelah berada di surga...
Dan persahabatan harus dipupuk sejak di dunia sebelum surga
Harusnya aku menjelaskan lebih dulu tentang pilihan ini pada dunia
Agar dunia membantuku menyelesaikannya tanpa rasa benci...
Aditya Kurniawan,
Kediaman Bpk Sudibyo,
Jakarta.
@@@
            “Nak Ditya, diminum dulu tehnya”.
            Bu Sudibyo menwarkan secangkir teh padanya.
            “Makasih, bu, sudah numpang malah merepotkan”.
            “Ah, ya ndak kok nak. Malah bapak dan ibu senang Nak Ditya mau mengajari Indra ngaji. Nak Ditya katanya mencari seseorang, sudah ketemu?”
            “Belum. Tapi, teman saya itu kabarnya menginap di dekat-dekat sini. Ibu tahu penginapan dekat sini?”
            “Wah, banyak kalo penginapan. Nak Ditya temannya di penginapan mana?”
            “Di Flamboyan”.
            “Itu dekat. Cuma jarak dua gang mungkin. Flamboyan itu penginapan milik kakak saya yang pertama, pamannya Indra. Minta diantarkan Indra saja”.
            Seorang anak lelaki berpakaian seragam SMP berlari ke teras rumah Bu Sudibyo. Itu Indra, anak semata wayang pasangan Sudibyo. Indra mencium tangan ibunya dan menyapa Ditya.
            “Kak Ditya! Tadi matematika yang diajarin kakak bener lho!”
            “Bener?”
            “Iya lah... Masa aku bohong? Aku dah gede, udah tahu bohong itu dosa”.
            Bu Sudibyo tertawa kecil, menyuruh Indra ganti baju. Indra dengan malas masuk ke rumah dan membanting tasnya di ruang tamu. Ditya menggeleng-geleng.
            “Nak Ditya ini sepertinya berbakat jadi guru”.
            “Ah, ibu bisa aja.”
            “Lho, benar lho. Oh, ya. Nak Ditya sekolah dimana?”
            “SMA Tunas Kelapa, Yogyakarta”.
            “Oh, disana. Katanya disana umum saja. Kok Nak Ditya ngajinya bisa bagus banget gitu?”
            “Ibu ini dari tadi bikin saya terbang. Itu, saya dulu pernah masuk pesantren. Pondok Pesantren Nurul Qolbi, Jawa Timur”.
            “Oh, ponakan saya katanya juga sekolah disana. Nak Ditya kenal Buyung?”
            “Buyung? Aduh, maaf saya nggak tahu”.
            Buyung? Sepertinya Ditya masih familiar dengan nama itu. Terdengar dekat sekali. Tapi kenapa ia tak ingat sama sekali. Uum kah? Bukan, tidak mungkin! Uum bukan dari Jakarta. Dia dari Bandung. Dan nama panjangnya masih berbau arab. Buyung bukanlah nama arab.
            “Masa ndak kenal Putri Buyung Lestari?”
            Ditya menggeleng pelan. Ia agak merasa bersalah karena tidak tahu.
            “Ya sudah kalau ndak tahu. Dulu, kakak saya yang kedua, ayah Buyung, tinggal di rumah ini. Satu atap dengan saya. Tapi, karena kakak saya mendapat kerjaan baru, ia pindah entah kemana. Pindahnya saat Buyung kelas satu SMP di pesantren itu. Kami putus komunikasi sejak itu”.
            Ditya mengangguk-angguk. Bukan, pasti bukan Uum. Bagaimana ia bisa menebak Buyung adalah Uum? Bodohnya dia.
            Indra menghampiri keduanya di teras dengan kaus pendek putih dan celana bawah lutut coklat. Bu Sudibyo mengakhiri pembicaraan mereka dengan menyuruh Indra mengantarkan Ditya ke penginapan Flamboyan. Indra tidak mengeluh. Ia senang bila harus bersama Ditya. Mereka sangat pantas jika harus menjadi kakak beradik. Keduanya sangat akur.
            Di perjalanan, mereka bercanda. Itu cukup untuk menghilangkan rasa gugup Ditya akan bertemu Alge. Apa yang akan ia katakan nanti? Tentu saja kata maaf, tapi setelah itu? Apa dia harus mengatakan bahwa ia sudah membuang Uum untuk Alge? Tidak mungkin. Ia tidak benar-benar membuang Uum. Ah, maaf dari Alge sulit untuk digapainya tanpa menjauhi Uum.
            “Kak Ditya, itu, Kak Ditya masuk aja. Tanya ke mbak yang jaga. Aku mau ketemu pamanku dulu! Daah..”
            Indra meninggalkan Ditya di depan pintu resepsionis. Baru saja Ditya ingin bertanya, Ditya sudah melihat Alge dan seseorang melewatinya. Mereka keluar penginapan. Ditya menyusul mereka, tak peduli resepsionis memanggilnya. Disentuhnya pundak Alge. Alge menoleh.
            “Ditya?! Ngapain kamu kesini?”
            Alge menjauhi Ditya. Mundur, dan semakin mundur.
            “Alge, tolong, aku cuma pengen kamu maafin aku. Alge, tolong, maafin aku”.
            “Sorry Dit, aku nggak punya maaf buat kamu! Dasar setan! Aku nggak mau punya temen kaya kamu”.
            BUGGG!!! Tangan Ditya melayang memukul wajah Alge.
            “Kamu... kamu jangan pernah ngehina aku lagi. Asal kamu tahu, aku udah...”
            Ditya belum menyelesaikan kalimatnya, Alge sudah membanting topinya. Darah membasahi seluruh bibirnya, gusinya luka karena pukulan Ditya. Telunjuknya ia arahkan pada Ditya. Ia pergi meninggalkan Ditya dengan langkah cepat. Alge kembali ke penginapannya.
            “Teman macam apa kamu ini?”, bisikan parau dari teman Alge itu ditunjukkan pada Ditya.
            “Aku tak pernah ingin melukai teman! Aku hanya...”
            “Hanya apa? Hanya karena ada setan dalam diri kamu? Bener kata Alge. Kamu setan!!!”
@@@
            “Aa’ yah?”
            Ditya nyengir, menatap Indra agak tak enak.
             Ditya memanjat pohon dan duduk di salah satu dahannya. Uum membaca bukunya sambil menghindari terik matahari di bawah pohon yang dipanjat Ditya. Keduanya masih SMP. Uum kelas dua dan Ditya kelas tiga. Karena mereka sama-sama dari Bandung, mereka gunakan kesempatan liburan untuk berkencan.
“Kak Ditya, nggak enak panggil Kak. Boleh panggil lainnya?”
            “Apaan,enaknya?”
            “Akang yah?”
            “Hih, jelek! Aa’ ajah!”
            “Aku yang ogah!”
            “Yaudah, panggil nama aja”.
            “Ditya...”
            Indra ikut tak enak menatap Ditya.
            “Jelek ya kak?”
            “Nggak, cuma ngingetin aku ke seseorang! Udah, nggak usah ganti. Kak aja”.
            Indra  menurut walau agak kecewa. Ditya memajukan kudanya membentu ‘L’. Skak mat! Indra kalah.
            “Kak Ditya nih, aku jadi kalah kan?”
            Indra menata kembali pion-pion caturnya. Begitupun Ditya. Sudah tiga putaran ini mereka bermain.
            “Oh, ya kak! Aku jadi keinget deh! Aku punya Kakak sepupu. Dia benci banget panggilan Aa’. Kaya Kak Ditya, dia paling sebel panggilan itu”.
            “Buyung ya?”
            “Kok Kakak tahu?”
            “Ibu kamu banyak cerita ke aku”.
            “Oh, gitu! Kakak pasti jatuh cinta deh kalo liat Kak Buyung!”
            “Hehe, nggak ya! Aku dah punya seseorang lho! Paham nggak?”
            “Paham. Kak Buyung mah nggak punya deh kayanya. Soalnya, terakhir ketemu waktu itu Kak Buyung masih polos banget”.
            Ditya goyah, rasanya ia benar-benar mengenal Buyung ini.
            “Ndra, aku seperti dekat dengan nama itu. Buyung. Aku seperti punya ikatan khusus”.
            “Mungkin Kak Ditya pernah ketemu?”
            “Sepertinya nggak tuh”
            Indra meninggalkan Ditya, mencari sesuatu di dalam rumah. Ditya sendiri bingung apa yang akan dilakukan Indra. Indra datang lagi ke teras, membawa sebuah album. Dibuka-bukanya album itu.
            “Ini bayinya Kak Buyung. Ini waktu bayi. Ini waktu masa-masa di rumah sakit...”
            Ditya memandang foto Buyung saat sakit. Buyung kira-kira masih berumur delapan tahun. Rambutnya pendek di foto itu. Ditya mulai memperhatikan foto Buyung. Sedikit demi sedikit, lambat laun, wajah Buyung mulai mirip seseorang.
            “Ini waktu aku ama Kak Buyung ikut lomba gambar. Ini waktu aku ama Kak Buyung ikut olimpiade IPA di SD. Ini waktu Kak Buyung wisuda SD. Lucu, yah? Masa make kebaya kerudungnya begitu?”
            Ditya merebut album itu pelan. Dibalik-baliknya album itu. Tidak, tidak! Ini hanya kemiripan biasa.
            “Ehm, Indra... Kak Buyungmu pernah ganti nama? Atau... punya nama kecil?”
            “Kok Kak Di...”
            “Jawab Indra”.
            “Katanya Kak Buyung mau ganti nama sih. Soalnya, waktu lulus SD...”
            Indra diam. Bulir-bulir air kecil membasahi pipinya pelan. Ditya semakin bingung.
            “Waktu SD kenapa?”
            “Kak Buyung langsung pingsan habis terima ijazah. Dia koma, nggak bangun sampai dua hari. Dokter memastikan, dia punya Leukimia. Dan... dipastikan, Kak Buyung cuma bisa hidup dua tahun lagi. Tapi ayah Kak Buyung punya pikiran, membawa Kak Buyung pada seorang ulama’ utuk mengganti nama Kak Buyung. Aku diberitahu Kak Buyung. Ibu nggak tahu tentang ini. Aku udah terlalu dekat sama Kak Buyung saat kita dipisahin”.
            Indra terisak, ia menunduk, kedua tangannya menggenggam gelas tehnya. Ditya tahu, Indra tak lagi mampu meneruskan. Tapi, ia harus tahu tentang semuanya. Ditya tetap membiarkan Indra melanjutkan ceritanya.
            “Aku bahkan belum sempat mencium tangannya saat berpisah. Waktu itu, aku terbangun dari tidur, mendapati Kak Buyung tidak ada disampingku. Cuma ada surat. Itu dari Kak Buyung. Aku nggak tahu Kak Buyung pindah kemana. Aku juga nggak tahu, Kak Buyung...”
            Ditya mengernyit. Ia mulai mengerti. Dan ia mulai merasa, dugaannya benar. Kemiripan itu bukan kemiripan biasa.
            “...masih hidup atau udah...”
            “Cukup, Ndra. Aku tahu kamu sedih, tapi bolehkah aku melihat surat dari Buyung? Pasti kamu masih menyimpannya!”
            Indra mengangguk, “Ada di halaman terakhir album itu”.
            Ditya membuka surat Buyung.
Assalamu’alaikum, Dek Indra...
Kak Buyung nggak bisa apa-apa waktu Ayah dan Bunda meminta kakak meninggalkan rumah ini. Mungkin nama Kak Buyung bakal ganti. Biar hidup Kak buyung lebih lama. Biar suatu saat nanti, waktu udah gedhe, adek bisa ketemu kakak dengan keadaan hidup. Kak Buyung selalu sayang adek. Derk Indra jangn pernah menyerah, ya! Kakak tahu Dek Indra pengen banget ke SMP di pesantren kaya kakak. Tapi sayangnya, waktu kakak mencoba memintakan izin pada Om Dibyo, ternyata Dek Indra nggak akan disekolahin disana. Tapi tenang, suatu saat kalo kakak udah dapet izin dari ayah dan bunda buat ketemu kamu lagi, kakak bakal temuin kamu. Kakak nggak mau kalo kakak temuin kamu tanpa ridho orangtua, itu dosa.
Tapi, kalo ayah-bunda nggak pernah ngizinin, Kakak akan kesini tanpa ridho mereka. Kakak pengen, tiga tahun lagi, saat kamu lulus SD, kita ketemu di depan SD kita. Tempat biasanya kita main, dideket rumah Pak Yahya. Dek Indra, jangan sedih ya, sayang?
Wa’alaikumussalam...
15 Agustus 2000.
Putri Buyung Lestari.

            “I, ini tulisan Uum!”, bisik Ditya parau.
            Ditya memandang Indra. Indra sudah tak menangis lagi, namun bekas air matanya masih ada.
            “K, kamu... ketemu dia waktu lulus SD?”
            Indra menggeleng, “Kak Buyung nggak datang. Aku nunggu Kak Buyung seharian. Tapi, Kak Buyung nggak datang”.
            Ditya mengambil handphone dari sakunya. Dicarinya nomor telepon Uum. Ia menekan tombol untuk menelepon Uum. Nada sambung, nada sambung... terhubung!
            “Ha, halo? Uum!”
            “...”
            “Uum, ini Ditya!”
            Terdengar suara tangis di seberang. Tangisan yang khas, tangisan Uum. Ditya menghela nafas.
            “Buyung sayang, ini aku Ditya...”
            Indra memandang Ditya. Ia mendengar Ditya menyebut nama Buyung. Apa benar kakaknya itu masih hidup? Ia rindu, sangat rindu.
            “Kak Ditya...”
            “Shh... sebentar, dia menangis, dia terisak!”
            Ditya berbisik amat pelan. Berusaha agar hanya dia dan Indra saja yang mendengar.
            “Di, Ditya... k,kamu...”
            “Uum, aku punya sebuah kejutan buat kamu...”
@@@
            “Siapa, Um? Ditya, ya?”
            Uum tidak menghiraukan pertanyaan Andin. Ini benar-benar momen yang bisa mencekat nafasnya.
            “Kak Buyung, ini bener kakak? Kak, ini Indra, kak. Kakak sehat?”
            Uum berhenti terisak. Matanya membelalak. Ia tak percaya ini. Air matanya memang masih tertetes pelan. Tapi tanpa suara.
            “Dek Indra, ini kakak...”
            “Kak Buyung! Kak Buyung ini Indra! Kak Buyung, sehat? Kak Buyung dimana? Indra kangen kak...”
            “Kakak sehat, dek. Dek Indra sehat?”
            “Alhamdulillah, kak! Dek Indra sehat!”
            “Dek Indra nangis?”
            “Kakak sendiri juga nangis, kan?”
            Uum tersenyum. Andin duduk di sebelah Uum. Andin melihat, buku di atas meja belajar Uum sudah sangat basah. Andin mendengar, Uum menyebut nama adik sepupunya, yang dulu pernah diceritakan Uum.
            “Iya. Kabar tante dan om gimana, dek?”
            “Alhamdulillah, bapak ibu baik. Kak Buyung kenal Kak Ditya?”
            Kenapa adiknya harus bertanya tentang Ditya? Ia benci.
            “Nggak kenal tuh dek! Sekarang Dek Indra kelas satu SMP ya?”
            “Iya. Kakak juga kelas satu SMA kan?”
            “Iya, Dek Indra maaf ya! Dulu kakak nggak bisa dateng... waktu itu kakak sakit”.
            “Nggak papa, kak. Oh ya, maaf kak, hape Kak Ditya ngedrop. Dah kakak...”
            Tuut...tuut..
            “Dek Indra?”, tanya Andin.
            Uum meletakkan handphone-nya. Andin menyambarnya, melihat laporan panggilan. Ditya yang menelepon, tapi Indra...
@@@
            “Alge, aku minta maaf”
            “Aku bilang, nggak ada maaf buat kamu”.
            “Tapi, Alge, aku dan Uum udah...”.
            “Terserah! Aku nggak peduli! Aku udah cukup cape temenan sama kamu, ini bukan soal Uum! Tapi soal kamu, Dit!”.
            Alge menutup pintu kamarnya keras-keras. Dipukulnya dinding di samping pintu. Ia tersiksa terpisah dengan sahabatnya, tapi ini demi sahabatnya juga. Sahabatnya harus sadar jika sikapnya mulai memburuk. Tapi sayangnya, metode ini sulit diterapkan pada Ditya.
            “Ge, andaikan aku bisa paham, apa salahku sebenarnya... Sayang, aku nggak bisa paham Ge! Kalau boleh, aku minta penjelasan dari kamu..”
            “Dit, kamu harus cari kesalahan kamu sendiri. Maaf Dit, aku pengen kamu tahu dari hatimu yang terdalam”, bisik Alge dibalik pintunya.
            Tentu saja Ditya tak bisa mendengarnya. Ia hanya mengucap salam, dan pergi dari depan pintu kamar Alge.
@@@
            “Indra, kira-kira kamu tahu nggak apa yang kurang dari aku?”
            Indra menutup selembar kertas yang dibacanya. Ia selipkan kertas itu di salah satu ranting pohon di atasnya.
            “Kayanya nggak ada”.
            “Maksudku, kekurangan dari seorang alumni pesantren?”
            Indra menerawang.
            “Kurang make sarung, kurang make peci. Aha! Kalo sholat Kak Ditya suka undur-undur waktu. Trus, kalo Kak Buyung dulu, dia kalo malem-malem bangun sholat tahajud. Kak Ditya kayanya nggak pernah deh selama disini”.
            Ditya berpikir. Benar juga kata Indra. Hei! Ia tahu kesalahannya! Ya, ia ingat!
            “Dit, cita-cita kamu jadi apa?”
            Alge membalik-balik buku fisikanya. Ditya mengaduk tehnya. Hari sudah benar-benar malam, sangat malam. Semua penghuni komplek putra sudah terlelap kecuali mereka.
            “Aku?”
            Alge mengangguk.
            “Em...Jadi ahli hadits kayanya”.
            “Kok kayanya? Harus matap dong”.
            “Iya deh, iya! Jadi ahli hadits, Ge”.
            “Susah lho! Kamu juga harus nglakuin anjuran-anjuran dari hadits-hadits itu”.
            “Iya, iya. Aku tahu. Aku janji deh bakal selalu nglakuin anjuran-anjuran dari hadits-hadits itu! Kalo nggak, kamu boleh benci aku selamanya”.
            Ia ingat semuanya. Ia ingat janjinya dulu. Ia ingat!
            “Alge, ngeri kamu duduk di pager gitu. Mau bunuh diri, ya?”
            Alge mengangguk serius.
            “Heh! Gila kamu! Kamu mau loncat dari sini? Mendingan jangan deh, ini lantai tiga! Kamu nggak akan mati loncat dari sini! Kurang tinggi”.
            “ Aku udah nggak bisa disini. Aku terlalu hina. Aku nggak bisa nahan nafsuku”.
            “Lho, lho, Ge? Kok bisa gitu?”
            “Aku nggak berhasil penuhin janjiku ke ortuku tentang imanku...”
            “Aku nggak paham apa yang kamu omongin, yang pasti aku tahu kamu lagi galau! Aku nggak paham, tentang nafsu lah, tentang iman lah... Yang aku paham cuma satu, nafsu harus dijauhi, dan iman dijaga. Kamu pasti cuma nahan nafsu doang? Kamu pasti cuma nyimpen iman doang? Kamu bukannya nggak berhasil, tapi kamu belum memulainya. Kamu belum menjauhi dan menjaga. Kamu baru nahan dan nyimpen aja! Aku janji, aku bakal selalu temenin kamu menjauhi dan menjaga!”
            “Yakin, Dit?”
            Ditya mengangguk.
            “Kak Ditya! Kak Ditya kok diem?”
            “Oh, maaf! Kamu bilang apa?”
            “ Aku ngajak kakak liat pengumuman karya ilmiah terbaik!”
            “Hah?! Apaan tuh, nggak paham”.
            “Ini lho kak, seminggu lalu itu ada seminar karya ilmiah. Ini brosurnya. Trus kemarin waktu seminar, kata bapak tamu undangan diminta membuat karya ilmiah. Yang paling bagus bakal dikasih penghargaan!”
            Ditya mengerti. Itukah seminar yang diikuti Alge? Mungkin iya. Ia akan melihat, siapa yang terbaik.
@@@
            “Kakak, mau kemana?”
            Ditya memutar matanya. Ia harus segera mencari ide untuk ini.
            “Mau cari makan!”
            “Ye, nggak ngajak Indra!”
            Bodoh! Alasan buruk. Indra pasti akan memaksa ikut.
            “Udah malem, dek..”
            Ditya lebih nyaman dengan panggilannya untuk Indra baru saja.
            “Kakak mau naik apa?”
            Dikeluarkannya kunci mobil dari sakunya.
            “Kakak bisa?”
            “Yaiyalah, kalo nggak bisa ngapain bawa mobil kesini?”
            “Kakak dapet mobil dari mana? Mencuri, ya? Alumni pesantren kok mencuri!”
            “Hush, aku rental tahu!”
            “Oh, gitu. Eh, kak! Indra ikut ya? Ayolah, kak! Bapak sama ibu udah tidur. Aku nggak mau sepi-sepi di rumah”.
            Ditya menyerah. Keduanya pergi ke depan rumah. Jazz biru, ini lebih baik daripada berjalan kaki. Terlalu baik, malah. Mobil melaju pelan awalnya, lalu mulai lumayan cepat saat jazz biru itu melesat di tengah kebisingan kota Jakarta.
            “Kak, kakak kok bisa kenal Kak Buyung?”
            Ditya tertawa keras, “Dia itu, orang yang paling aku cinta”.
            “Kak Ditya kenapa nggak nembak?”
            Tawanya semakin meledak, “Udah lama aku nembak dia”.
            “Kakak ditolak ya?”
            “Ditrima kok!”
            “Kalian jadian, tapi kok Kak Buyung nggak kenal kakak?”
            Tawa Ditya meredup. Tidak kenal? Sudah dibencikah dia oleh Uum?
            “Kak Buyung bilang nggak kenal Ditya?”
            Indra mengangguk. Ditya bungkam. Jazz biru itu berhenti di depan sebuah restaurant sederhana. Mereka masuk restaurant itu dalam diam. Ditya hanya memesan kopi hangat. Indra memesan sesuatu juga.
            “Indra, sebenarnya dia kenal aku”.
            “Pasti lagi bertengkar, ya?”
            “Mungkin dia marah. Aku nggak pamit ke dia, aku juga bilang nggak penting waktu dikabarin dia lagi sakit”.
            Ditya menceritakan sebagian besar perjalanannya. Tentang Alge, tentang Uum, seminar itu, alasan kenapa Alge marah, dan kenapa ia mengatakan tak penting pada kabar buruk Uum.
            “Jadi, malam ini, sebenernya kakak mau kesana duluan? Itu proyek besar lho kak, yang ikut seminar perwakilan negara ASEAN!”
            “Lalu?”
            “Pastinya dokumen-dokumen karya ilmiah mereka akan dijaga ketat. Banyak orang yang bisa mengambilnya dan mungkin bisa dijual kan, kak?”
            Benar juga. Apalagi jika ia datang semalam ini, ia tidak akan diperbolehkan melihat-lihat.
            “Santai aja lho! Aku bisa nyusup...Aku bener-bener pengen lihat!”
            “Terserah kakak sih, Kak Alge kan sahabat kakak”.
@@@
            Ditya masuk lagi ke mobil. Indra terbangun dari tidurnya.
            “Gimana, kak?”
            Keringat Ditya bercucuran, “Alge yang menang”.
            Ditya tersenyum. Baru saja ia akan menyalakan mesin, ia melihat teman Alge kemarin. Teman Alge menyusup, memasuki gedung itu. Ditya punya firasat buruk, ia akan mengikuti teman Alge itu.
            “Kak Ditya mau kemana?”
            “Tunggu disini, aku nggak akan lama”.
            Ditya mengikutinya. Benar-benar Ditya amati apa yang di lakukan dia. Dia membuka-buka dokumen. Wajahnya pucat dalam gelap.
            “Sialan, bukan gue, tapi Alge”, bisik teman Alge kesal.
            Mulai terbaca! Ditya bukan detective Conan. Tapi ia tahu, ia bisa membaca apa yang akan dilakukan dia. Dia akan mengubah nama Alge menjadi namanya. Tidak akan ada yang sadar.
            “Ehm, Ehm... Sekarang, siapa teman yang bangsat?”, kata Ditya.
            Ditya berdiri tegap. Tangannya bersedekap.
            “Gue bukan temen dia. Gue musuh dia”.
            “Musuh pengecut yang hanya berani sembunyi dibalik wajah manis!”
            “E,elo... beraninya elo...”
            “Kenapa? Mau nantang gue pukul-pukulan? Kenapa enggak?”
            Dia menyambar sebuah besi panjang. Mereka bertengkar. Kemungkinan besar Ditya menang pada awalnya, Ditya sudah merobohkan dia. Ditya merapikan dokumen-dokumen yang berantakan. Tapi dia memukul tengkuk Ditya, Ditya pingsan. Dia hampir saja menyentuh dokumen-dokumen itu, tetapi, dia sudah lebih dulu tertangkap basah.
@@@

















           

1 Januari  2004
Akhrnya aku dihadapkan dengan masa laluku
Senang susah yang kurasa sejak dulu
Tak lengkap tanpa seorang adik tersayang
Tapi, aku masih bingung dengan seseorang yang mempertemukan aku dengan masa laluku
Dia kenapa?
Kenapa saat aku butuh dia, dia menganggapku tak penting?
Saat aku benci dia, dia berlutut dalam cintanya untukku?
Apa yang dia lakukan?
Yang membuatku tambah pusing,
Kenapa adikku harus melindungi dia?
Putri Buyung Lestari,
Asrama Tunas Kelapa,
Yogyakarta.
@@@
            Alge menatap langit. Ditya mengacak-acak rambut Indra. Alge menjadikan tangannya sebagai bantal. Ia berbaring di hamparan rumput hijau. Menatap tenggelam matahari. Ditya duduk disamping Alge bersama Indra.
            “Dit, kamu nggak apa, kan?”
            “Nggak papa sih, tapi kamu belum mau biasa ke aku”,kata Ditya.
            “Iya nih, Kak Alge diem terus. Kata Kak Ditya, Kak Alge orangnya nggak bisa diem, ngoceh mulu. Kadang malah nggak mau nafas, ngoceh mulu! Kayanya, dari sudut pandangku, kakak ini orangnya juga nggak tegaan sama temen. Kak Alge diemin Kak Ditya hanya agar Kak Ditya paham tentang kesalahannya, berarti Kak Alge nggak tega kan Kak Ditya hidup dalam ketidak pahaman. Iya, kan?”, jelas Indra.
            “Wawah, bahasamu tinggi, dek!”, kata Ditya.
            BUAG!!! Alge memukul punggung Ditya.
            “Alge, kamu...”
            “Kamu cerita apa aja ke adeknya Uum? Hah?! Kamu bilang aku nggak bisa diem? Daasaaar Ditya! Awas kamu, bakal aku makan nanti!”, ujar Alge yang kemudian kembali mengacuhkan Ditya.
            “Alge, kamu kanibal, ya?”, tanya Ditya.
            “Nggak tuh, aku cuma predator! GRUUAAOO!!”, Alge pura-pura menjadi monster.
            “Alge, please, aku nggak mau punya sahabat predator!”
            Alge melirik Ditya, “Hehe, santai Dit, aku adalah teletubbies, berpelukan...”
            Alge memeluk Ditya. Ditya menggeliat risih dan melepaskan pelukan Alge.
            “Uhm, kakak-kakakku yang cakep, aku curiga, kayanya yang jadi pacarnya Kak Ditya bukan Kak Buyung, deh! Tapi Kak Alge”, kata Indra.
            Sepasang sahabat itu menerjang Indra dengan penuh amarah canda. Tapi, tiba-tiba, Ditya berbaring di rumput.
            “Sayangnya, Uum bukan milikku lagi”.
            “K,kok bisa, Dit?”
            “Kita udah putus tadi malem, dia ngamuk! Gila! Telponku diputus terus”.
            Alge menatap Ditya tak percaya. Alge merasa sangat bersalah. Bukan ini yang ia inginkan. Ia tidak ingin Ditya berpisah dengan Uum. Dia hanya ingin Ditya menyadari kesalahannya, itu saja. Tak ada yang lain. Saat ini, Ditya sudah menyadarinya. Sudah kembali lagi pada Ditya yang diinginkan Alge untuk menjadi sahabatnya.
            “Biasanya, Kak Buyung marah banget waktu dikecewain orang lain. Dia pernah dikecewain sahabatnya di SD. Kak Buyung sampe ikut latihan karate biar bisa mukulin tuh anak. Sayangnya, tuh anak keburu pindah ke Samarinda”.
            Ditya dan Alge berpandangan.
            “Dit, kamu tahu aku bukan marah karena Uum. Aku bukannya ingin pisahin kalian berdua!”
            “Aku tahu. Mungkin aku kecewain dia. Mungkin karena aku menganggapnya tak penting lagi waktu itu. Tapi, aku hanya bersandiwara. Itu tak benar!”
            “Ng, Kak Ditya! Aku punya ide!”
@@@
            Indra mengetuk pintu rumah Madame. Lama sekali ditunggu, matahri mulai memanas, baru pintu itu membuka. Seorang wanita berperawakan Perancis berdiri di depannya.
            “Ada apa? Aku tak punya banyak waktu!”
            “Anda matron disini?”
            “Ck,ck,ck!”, Madame menggeleng, “Jaga bicaramu. Kurang sopan kau! Aku yang memiliki yayasan ini!”
            “Oh, andakah Madame? Kenalkan, aku Indra, sepupu Naimatul Ummah!”
            Madame melongo. Indra menyahut tangan Madame untuk bersalaman. Baru kali ini ada anak yang berkenalan dengannya dengan menjabat tangan. Terakhir ia menjabat tangan pada seorang bocah adalah dengan anak lelakinya sendiri. Jabatan terakhir itu jabatan yang amat kuat.
            “Mama! Willy sekolah dulu!”
            Perkataan aksen perancis itu membuat Madame senang. Willy mencium tangan Madame.
            “Dadah mama. Doakan Willy di hari pertama masuk SMP ya!”
            “Hati-hati, nak”
            “Iya, mama”.
            Sayangnya Willy tak mengingat pesan mamanya. Ia tak hati-hati. Sejam setelah keberangkatan Willy, Madame menerima telpon penting.
            “Hallo?..... Oh, ya benar, ini saya..... Oh, Pak Kepala. Sir Mahes. Apa anak saya nakal?..... Apa? Dia membuat onar?.....Dengan apa dia membuat onar sekolah.... D, dengan k, k, k, kematiannya? Oh, Tuhan! Anda tak bercanda?...
            “Hallo! Madame, anda melamun?”
            “Oh, iya maaf. Baiklah akan kupanggilkan Uum”.
            Madame memanggil Uum. Uum dengan gugup mendekat. Madame hanya mengisyaratkan Uum untuk mengikutinya. Uum terpana begitu ia melihat sesosok Indra. Uum langsung merangkulnya, meringkuhnya dalam pelukan. Indra juga membalas pelukan itu.
            “Kakak, ini asli kakak?”
            “Iya Indra, ini kakak”.
            Mereka melepas pelukan. Indra melihat mata kakaknya berkaca-kaca.
@@@
            “Emang kakak nglakuin kesalahan apa?”
            “Waktu itu, kakak ngasih kodok di tasnya Sulton”.
            Indra melongo. Uum dengan santai menyeruput cappuccinonya. Indra meletakkan cangkir kopi hitam yang dipegangnya.
            “Kakak berani banget nglakuin itu! Tahu sendiri kan, tuh bapaknya Sulton fobia ama kodok”.
            “Iya, abis aku sebel banget ama Sulton sekalian aja aku kerjain babenya. Lha kok waktu udah pulang dari Samarinda, nyari keberadaan kakak. Kebetulan tuh anak jadi tetangga kakak di Bandung. Langsung deh aku kena timpuk babenya!”
            “Kakak kan abis belajar karate. Niatnya juga buat mukulin Sulton kan?”
            Uum nyengir, “Nggak semua orang belajar langsung bisa”.
            Indra ber-oh. Diseruputnya kopi hitam di depannya. Uum memandang hujan diluar. Ia melihat lampu-lampu toko begitu meriah. Jalanan lumayan ramai. Biasa, kota pusat DIY, Yogyakarta. Tapi tak mungkin seramai ini. Bahkan pada sore hujan.
            “Dek, kok rame banget ya, nih kota?”
            “Hih kakak lupa, ya? Ini malam tahun baru, kakak!”
            Uum menepuk dahinya. Dia lupa. Padahal, satu Januari adalah tanggal kelahiran Uum.
            “Dek, kamu mau ngasih apa ke kakak?”
            “Emang dalam rangka apa, ya? Kok aku nggak tahu?”, Indra mengerling nakal.
            Uum cemberut, “Ya udah kalo nggak inget!”
            "Eh, kakak! Kakak mau nggak ntar malem jalan-jalan keliling Jogja?”
            Uum mengernyit, “Hei, aku nggak berani. Malem-malem sama kamu doang!”
            “Sama Kak Ditya”.
            “Hah? Males ba...”
            “Sama Kak Alge juga. Kata Kak Alge sama Kak Andin juga”.
            “Lo pikir reuni keluarga?”
@@@
`           Uum benci ini. Ia harus bersama Ditya. Ia benci, tapi ia harus lakukan ini demi adiknya. Yang palin ia benci adalah, momen ulang tahunnya pasti tak semeriah sebelumnya. Karena, mungkin ia sudah tidak lagi bersama Ditya. Jadi, tak akan ada yang memberi kejutan padanya.
            “Kita mau kemana, nih?”, tanya Alge.
            “Terserah deh!”, sahut Andin.
            “Yah Andin, kamu kan yang asli Yogya”, kata Ditya, “Nggak kaya kita, ya Um, yang asli Bandung?”
            “Hih, nggak tuh! Aku asli Jakarta”, ujar Uum.
            Ditya gagal lagi merayu Uum. Sulit sekali untuk ini. Uum sedang benar-benar marah, bahkan benci.
            “Alun-alun kidul, mungkin kita bisa ke sana”, kata Andin.
            “Katanya di Alun-alun utara ada konser lho! Khusus tahun baru. Mumpung nggak hujan, nonton yuk”, kata Indra.
            “Kasihan Uum tahu! Cape nanti, sempit disana”, ujar Ditya.
            “Aku nggak akn cape, tenang aja. Buat nyenengin nih kuncrit”, kata Uum sambil mengacak rambut Indra.
            Mobil avanza hitam itu melaju pelan, semakin pelan. Alge dan Ditya berbincang dengan tema mereka sendiri di depan. Sedangkan Uum, Andin, dan Indra hanya diam di belakang. Ditya memarkirkan mobilnya di dekat alun-alun utara. Disana sudah sangat ramai. Mungkin konser sudah berlalu seperempatnya. Uum menggandeng adiknya.
            “Kak Buyung. Lepas deh. Aku udah gede, kak! Liat nih, tingginya udah sama kaya kakak”.
            Ditya mendekati Uum. Uum tidak memperdulikannya. Indra berlari meninggalkan Uum dan Ditya, menembus orang-orang di depan mereka. Alge sudah asyik melihat-lihat suasana Yogya. Sedang Andin menemani Indra.
            “Dia butuh kebebasan, Um”.
            Uum memandang Ditya sedikit tak suka. Ditya hanya cuek dan melihat ke arah panggung.
            “Um, mau nonton?”
            Uum menggeleng, “Nggak mau kalo sama kamu”.
            “With no touch deh! Aku nggak akan gandeng kamu, nggak akan macem-macem. Sumpah”, kata Ditya.
            “Aku nggak masalah kamu baek atau nggak! Tapi aku emang nggak suka ditemenin kamu”.
            Ditya melirik Uum, “Yaudah, kalo kamu masih marah”.
            Ditya membalikkan badan dan meninggalkan Uum.
            “Ditya”, panggil Uum.
            Ditya menoleh. Ditya yakin Uum akan memanggilnya.
            “Kamu kenapa nggak bilang ke aku kalo emang kamu punya orang lain, atau kamu udah nggak sayang lagi?”
            Ditya menyipitkan mata. Apa dia tak salah dengar? Ini bukan mimpi? Kenapa Uum menuduhnya begitu?
            “A, apa?”, tanya Ditya sambil mendekat ke Uum.
            “Kalo kamu bilang dari awal, aku nggak akan musuhin kamu sampai segininya. Aku juga bakal maafin kamu yang ngelanggar janji kamu buat setia”.
            “Uum, kamu sadar apa yang kamu...”
            “Sadar! Sangat sadar”.
            “Um, kamu... kamu nggak tahu! Kamu nggak tahu aku terpaksa berkata kabarmu tak begitu penting. Waktu itu aku bener-bener lagi kacau”.
            “Bohong, ya bohong! Aku nggak percaya lagi sama kamu!”
            “Um, dengerin! Aku nggak ngerti kenapa tiba-tiba kamu nuduh aku kaya gitu! Kalau kamu udah bosen sama aku, jangan main tuduh. Aku waktu itu bukan karena nggak sayang lagi, atau karena punya orang lain! Aku bener-bener terpaksa!”
            Uum menangis. Ia benar-benar jengkel pada Ditya. Ditya malah berkata dialah yang sudah bosan bersama Ditya. Ia sebenarnya masih punya perasaan yang sama seperti dulu. Ia tak pernah berubah. Ia masih Uum yang dulu.
            “Um, aku masih sayang kamu. Cuma kamu yang ada di hatiku. Nggak ada yang lain. Aku kemarin hanya ada sedikit konflik dengan Alge. Aku masih setia. Cuma kamu Um, cuma kamu yang bisa buat aku kaya gini. Cuma kamu!”
            Uum terpaku pada mata Ditya. Ia melihat kejujuran. Ditya tak pernah berbohong selama ini. Sama sekali tak pernah berbohong. Mungkin Ditya benar. Ia hanya salah tuduh. Dia hanya salah pengertian. Ia bukanlah wanita yang baik, yang selalu mengerti tentang kekasihnya.
            Allah telah meridloi hubungan mereka. Hanya keduanya tak sadar. Karena keduanya kadang masih tak bisa menjaga iman dan menjauhi nafsu. Dan malam tahun baru itu, Allah memperbarui ridlo-Nya. Mereka akan bersatu lagi, tanpa nafsu dan dengan iman.
            “Uum, kamu maafin aku ‘kan?’
            Uum diam. Ditya membatin, ‘Ya Allah, biarkan aku memeluknya, pelukan penuh cinta karena-Mu. Bukan karena nafsu. Biarkan aku memeluknya, biarkan aku...”
            Seseorang mendorong Ditya dari belakang. Ditya sudah dekat sekali dengan Uum. Ia melingkarkan tangannya di tubuh Uum. Nyaman sekali. Ia yakin, siapapun yang mendorongnya, itulah utusan-Nya. Uum terisak di pelukan Ditya. Beberapa saat kemudian, sudah tidak terdengar lagi isakan Uum. Ditya merasa, tubuh Uum memberat. Jangan-jangan...
            Ditya melihat kebawah, dimana wajah Uum menempel di dadanya. Baju birunya penuh darah. Ditya melepaskan wajah Uum dari dadanya. Hidung Uum penuh darah, dan Uum tak sadarkan diri.
            “Uum, Um, Uum!”, bisik Ditya.
@@@
            Ditya dan Alge diam. Mereka tak saling bicara. Indra menangis di samping ranjang Uum. Uum belum membuka matanya. Andin membuatkan teh untuk Ditya dan Alge. Indra sudah dari tadi malam menangis, sejak Uum dilarikan ke rumah sakit. Ayah bunda Uum belum datang juga.
            “Kalo aku nggak peluk dia, dia pasti nggak akan kaya gini”, kata Ditya lirih.
            “Kalo aku nggak dorong kamu buat peluk dia, ini nggak mungkin terjadi”, sahut Alge.
            Ditya memandang Alge. Ia tak menyangka Alge yang melakukannya.
            “Aku kira kamu...”
            “Aku nggak tega liat Uum nangis. Langsung aja aku dorong kamu buat peluk dia. Kalo yang dorong aku, diantara kalian nggak akan ada nafsu, kan?”
            “Sebenernya sama aja, sih, Ge. Cuma kalo sekali ini aja, nggak papa sih”, ujar Ditya.
            Pintu membuka. Ayah dan bunda Uum masuk. Ayah Ditya menjabati tangan Alge dan Ditya. Bunda langsung mendekati Uum.
            “Uum, nak... bangun, nak...”
            Uum mendengarnya! Ia membuka mata.
@@@






















1 Januari 2007
Jika aku boleh mendengar,
Jika aku boleh melihat,
Jika aku boleh berkata-kata,
Jika aku boleh bertemu dengannya sebentar saja,
Aku hanya ingin bersamanya,
Selalu, selamanya.
Kesetiaanku hanya untuk cinta sejati ini,
Hingga aku dan dia di surga nanti,
Setia ini untuk cinta sejati kami...
Aditya Kurniawan,
Institut Teknologi Bandung,
Bandung.
@@@
            “Uum, selamat UAN yah!”
            “Iya, iya! Liat aja nanti! Aku bakal nyusul kesitu”.
            “Andin lanjut kemana?”
            “Ke Jepang katanya”.
            “Waduh, jauh amat!!! Mereka berdua tambah jauh dong jaraknya!”
            “Siapa? Alge dan Andin ya?”
            “Iya lah! Masa Alge di Yaman, tuh anak ke Jepang?”
            “Oh, ya Dit! Mana kado kamu?”
            “Hehe, iya, ya! Ini malem tahun baru! Mau minta apa, Um? Minta dibikin sekarat kaya dulu waktu kita marahan?”
            “Hi, ogah! Untung dulu aku jadi ganti nama. Coba nggak jadi. Aku sekarang udah mati. Islam emang bener-bener ajaib!”
            “Hush, udah ah, jangan omongin mati-mati. Aku takut kamu pergi dari aku”           “Gombal!!! Udah sono, belajar! Aku juga mau belajar!”
            “Iya. Kalo kamu kangen, telpon sini, ya!”
            “ Ih, males banget! Harusnya kamu tuh yang telpon aku!”
            “Ya deh. Yaudah, assalamu’alaikum”
            “Wa’alaikumussalam...”
            Ditya menutup teleponnya. Ia masih rindu. Sangat rindu. Ia akan kesana nanti, saat pengumuman kelulusan Uum.
@@@
8 April, 2007
            Andin menengok lobi kedatangan. Itu Ditya. Ini akan menjadi kejutan untuk Uum. Indra ada bersama Ditya. Mereka bertiga bertemu. Mereka akan bersama-sama membuat kejutan untuk Uum. Hari itu, adalah penerimaan pengumuman kelulusan. Ditya dan Indra menyewa kamar di sebuah penginapan.
            Setelah mendapat penginapan, ketiganya menuju ke SMA Tunas Kelapa. Sebagian anak sudah memegang surat kelulusan mereka. Andin agak terlambat. Ia pergi ke kantor untuk mengambilnya.
            “Ini Andin, silakan buka”.
            Andin membuka surat kelulusannya.
            “Alhamdulillah, lulus...”, bisik Andin lega.
            “Andin tahu dimana Uum?”
            Andin kaget, “Uum belum kesini?”
            “Belum. Padahal, dia memiliki nilai tertinggi satu Jogja”.
            “B, boleh saya mengambil surat kelulusannya?”
            Pak Hamid menghela nafas, “Sebenarnya tidak boleh, tapi, ini, terimalah...”
            Andin menyahut amplop itu. Ia mengucap terimakasih dan segera berlari keluar. Uum disana! Bersama Ditya dan Indra. Andin menghampiri mereka.
            “Uum! This is surprise for you!”, seru Andin.
Uum menoleh. Wajahnya pucat, sangat pucat.
“Andin! Mana Uum?”, tanya Ditya.
            “I, ini Uum!”, kata Andin sambil menunjuk Uum.
            “Kak Andin jangan gila disini, deh”.
            Andin sangat bingung. Kenapa hanya dia yang bisa melihat Uum? Atau ini hanya mimpi? Atau itu hanya halusinasinya saja? Fizah tergopoh menghampiri mereka.
            “Andin, Kak Ditya!”, teriak Fizah.
Andin berbalik badan menghadap Fizah.
“Kenapa, Zah?”, tanya Ditya.
“I, itu... Uum...”
“Kak Buyung kenapa?”
“Uum berpulang pada-Nya satu jam yang lalu. Tepat setelah Andin pergi, Uum pingsan dan segera dilarikan ke rumah sakit. Dia nunggu kamu, Andin! Dia manggil Kak Ditya dan Indra. Namun, setelah membuka mata dan tahu kalian tidak ada, ia hanya tersenyum dan menutup mata. Di, dia.. dia... berpulang!”
Mata Andin membelalak. Air matanya jatuh, ia yang salah. Air matanya jatuh, ia yang meninggalkan Uum. Air matanya jatuh, ia yang datang tepat waktu. Andin menoleh ke belakang. Ia hanya melihat Ditya dan Indra. Tidak ada Uum. Jadi, memang benar Uum tidak ada?
@@@
Mereka berpandangan.
“Ini aku terima pada malam sebelum Uum pergi”, kata Madame sambil memberikan sebuah surat.
Ditya membuka sebuah surat yang diberikan oleh Madame. Ditya membacanya. Indra dan Andin mendengar, juga Madame.
Assalamu’alaikum,
Aku sudah tahu Izrail akan menjemputku sebentar lagi. Aku tahu, aku tahu. Aku sudah merasakan kedekatannya dengan kehidupanku. Ingin aku berkata pada Ditya-ku, pada Andin, pada Alge, pada Dek Indra, pada orangtuaku, pada sahabat-sahabatku. Sayangnya aku terlalu bodoh. Aku menyembunyikannya dari kalian, entah kenapa aku tidak bisa mengatakannya. Dan aku pasti pergi tanpa pamit.
Malam ini, aku merasa aku benar-benar tak bisa mengambil amplop kelulusanku besok pagi. Aku sudah terlalu ‘renta’ untuk ini.
Kak Ditya-ku, aku minta maaf ya...
Aku nggak bisa temenin kakak...
Yang hidup, biarlah hidup, yang mati biarlah mati...
Aku ingin Kak Ditya tahu aku benar-benar sayang...
Tapi, jika kita memang harus berbeda zona hidup, aku yakin kita akan bertemu di surga nanti. Kesetiaanmu dan setiaku akan dinobatkan sebagai cinta sejati. Aku yakin kita pasti bisa bertemu lagi...
Kak Ditya boleh mencintai lagi, namun ketika di surga, Allah akan memberitahu kakak siapakah yang harus bersama kakak, dan jika Allah tak menghendaki aku dan kamu bersatu, itu berarti, aku sedang disempurnakan untukmu, dan kau sedang disempurnakan untukku.
Andin sayang,
Jangan pantang menyerah, ya!
Jika aku benar-benar mati, aku nggak akan ada dismpingmu setiap hari untuk menyemangati. Aku hanya akan ada dihatimu untuk menyayangi.
Dek Indra,
Kak Buyung sudah lega bertemu Indra. Inilah yang Kak Buyung inginkan dari dulu. Bertemu Dek Indra, dan memberikan amplop kelulusan kakak padamu.
Kakak sayang Dek Indra. Kak Buyung tunggu Dek Indra di surga.
Ayah, Bunda, Uum pengen ayah nggak lagi susah gara-gara punya anak cuma satu, sakit-sakitan pula. Bunda, Uum kasihan sama bunda yang nungguin Uum waktu Uum sakit. Uum minta maaf, bunda. Uum pengen bunda dan ayah bahagia, walau tanpa Uum.
Madame, makasih, ya...
Madame udah mau janji sama Uum buat bantu ngejaga Dek Indra..
Uum nggak tahu kenapa Madame tiba-tiba kaya gini, tapi nggak papa..
Sekarang, akhirnya Uum bisa menyatakan sayang pada Allah...
Karena Uum merasa sudah berada sangat dekat...
Uum punya cinta, dimana cinta lah yang menjadi mata untuk Uum berjalan menuju Allah
7 April 2007,
Malam yang sepi...
Putri Buyung Naimatul Ummah Lestari...
@@@
7-11-2011
08: 37 AM
Ponpes Tahfidzul Qur’an, An-Nur
Komplek Al-Maghfiroh,
Maghfiroh 4-5.